Saturday 4 March 2017

Dewan Revolusi dan Tindakan Penumpasan G-30S/PKI di Jakarta

1 Oktober 1965



Hari Jum'at tanggal 1 Oktober 1965 , "Gerakan 30 September" telah berhasil menguasai dua buah sarana telekomunikasi yang vital , yaitu studio RRI pusat di Jalan Merdeka Barat dan kantor PN Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan.

Melalui RRI , pagi itu pada pukul 07.20 dan diulang pada pukul 08.15 , disiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September. Diumumkan antara lain bahwa gerakan ditujukan kepada "Jenderal - Jenderal anggota Dewan Jenderal yang akan mengadakan coup terhadap pemerintah." 

Siang harinya pada pukul 13.00 kembali disiarkan sebuah dekrit tentang pembentukan Dewan Revolusi di pusat dan di daerah - daerah serta pendemisioneran Kabinet Dwikora. Disebutkan bahwa Dewan Revolusi adalah sumber segala kekuasaan dalam Negara Republik Indonesia dan kegiatannya sehari - hari diwakili oleh Presidium Dewan yang terdiri dari komandan dan wakil - wakil komandan Gerakan 30 September yang juga merupakan Ketua dan Wakil - wakil ketua Dewan Revolusi.

Dekrit tersebut kemudian disusul dengan pengumuman dua buah keputusan Dewan Revolusi pada pukul 14.00. keputusan pertama mengenai susunan Dewan Revolusi yang terdiri dari 45 orang, diketuai oleh Let. Kolonel Untung dengan wakil - wakil ketua Brigadir Jend. Supardjo , Let. Kolonel (Udara) Heru , Kolonel (Laut) Sunardi, dan Ajun Komisaris Besar Polisi Anwas.

Keputusan kedua mengenai pengahpusan pangkat Jenderal dan mengenai pangkat yang tertinggi dalam ABRI Letnan Kolonel. Mereka yang berpangkat diatas Letnan Kolonel harus menyatakan kesetiannya kepada Dewan Revolusi, untuk selanjutnya baru berhak memakai tanda pangkat letnan Kolonel. Sedangkan Bintara dan tamtama ABRI yang ikut melaksanakan gerakan 30 September , pangkatnya dinaikkan satu tingkat dan yang ikut gerakan pembersihan "Dewan Jenderal" dinaikkan dua tingkat.

Pada pagi hari yang sama, setelah menerima laporan tentang segala sesuatu yang terjadi, Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal Soeharto segera bertindak cepat. Karena pimpinan Angkatan Darat lumpuh berkenaan dengan penculikan - penculikan dan pembunuhan - pembunuhan oleh Gerakan 30 September, dan sesuai dengan kebiasaan yang berlaku bahwa apabila Menteri / Panglima Angkatan Darat berhalangan , Panglima Kostrad yang mewakilinya maka untuk sementara pucuk pimpinan Angkatan Darat dipegang oleh Mayor Jend. Soeharto

Setelah menerima laporan yang lebih lengkap dari Panglima Komando Daerah Militer V/Jaya , Mayor Jend. Umar Wirahadikusumah segera diambil langkah - langkah mengkoordinasikan kesatuan - kesatuan yang berada di Jakarta dengan Jalan mengkonsinyasi anggota - anggota Angkatan Bersenjata melalui panglimanya masing - masing kecuali angkatan Udara yang Panglimanya kemdian ternyata mendukung Gerakan 30 September.

Berdasarkan penilaian keadaan pada waktu itu, Panglima Kostrad sampai pada kesimpulan bahwa :

1. Penculikan dan pembunuhan para Jenderal merupakan bagian daripada usaha perebutan kekuasaan Pemerintah

2. Pimpinan Angkatan Udara membantu usaha tersebut 

3. Pasukan - pasukan Batalyon 454/para Divisi Diponegoro dan batalyon 530/Para Divisi Brawijaya yang berada di Lapangan Merdeka, berdiri di pihak yang melakukan perebutan kekuasaan. (Kedua pasukan ini didatangkan ke Jakarta dalam rangka hari ulang tahun ABRI 5 Oktober 1965)

karena Presiden Soekarno berada di pangkalan Udara Halim yang dikuasai Gerakan 30 September sehingga tidak dapat dimintai keterangan , maka Panglima Kostrad memutuskan untuk segera menumpas gerakan. Keputusan tersebut diambil dengan keyakinan  bahwa Gerakan 30 September pada hakikatnya adalah suatu pemberontakan, terutama setelah adanya siaran pengumuman dekrit Dewan Revolusi dan pendemisioneran kabinet dwikora melalui radio.

Dengan menggunakan unsur - unsur Kostrad yang ada di jakarta pada waktu itu, yaitu Resimen Para komando Angkatan darat (RPKAD - sekarang bernama "Komando Pasukan Sandhi Yudha - KOPASSANDHA") dan Batalyon 328/Para Kujang/Siliwangi , tindakan penumpasan dimulai

pasukan - pasukan yang berdiri di pihak pemberontak yang berada di sekitar lapangan Merdeka segera dapat dinetralisasi. Anggota - anggota pasukan Batalyon 530/Brawijaya dan sebagian anggota Batalyon 454/Diponegoro dapat diinsafkan dari keterlibatannya dalam pemberontakan , sementara sisa batalyon 454 / Diponego mundur ke pangkalan halim

Operasi Militer mulai pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965 pukul 19.00 ketika pasukan RPKAD di bawah pimpinan komandannya Kolonel Sarwo Edhie Wibowo menerima perintah dari Panglima Kostrad untuk merebut kembali studio RRI Pusat dan Kantor Pusat Telekomunikasi. Hanya dalam waktu kurang lebih 20 menit, dua pusat sarana komunikasi vital tersebut dapat direbut dan beberapa saat kemudian mayor Jenderal Soeharto selaku pimpinan sementara AD telah mengumumkan lewat RRI tentang adanya usaha perebutan kekuasaan oleh Gerakan 30 September. Diumumkan pula tentang telah diculiknya enam perwira tinggi AD. Juga diumumkan bahwa Presiden dan Menko Hankam / Kasab dalam keadaan aman dan sehat. Rakyat dianjurkan untuk tetap tenang dan waspada.

Renacana berikutnya adalah membebaskan pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Melalui kurir khusus disampaikan pesan kepada Presiden Soekarno agar meninggalkan daerah tersebut. Presiden Soekarno berada di Halim ataas prakarsa sendiri dan berdasarkan pertimbangan keamanan ( dekat dengan pesawat ) setelah menerima laporan ajudan mengenai peristiwa pembakaran rumah Dr.Leimena , Jend. Nasution , dan Brigadir Jend. Panjaitan. Setelah Presiden Soekarno meninggalkan Halim dan pergi ke Bogor, Mayor jend. Soeharto segera memerintahkan pembebasan halim.

Tugas tersebut dilaksanakan dengan baik oleh kesatuan- kesatuan RPKAD , Batalyon 328 / Para Kujang, dan dua kompi Pasukan kavaleri

Menjelang sore haritanggal 2 oktober pukul 15.00 Pangkalan Udara Halim telah dapat dikuasai kembali.

Dalam operasi pembersihan di kampung tersebut, dengan bantuan serta petunjuk seorang anggota polisi yang ditawan regu penculik perwira - perwira tinggi AD tetapi berhasil meloloskan diri, lubang sumur tua tempat jenazah para perwira AD tersebut ditanam dan ditemukan pada tanggal 3 Oktober 1965.

Dengan telah dikuasainya kembali keadaan kota Jakarta , usaha perebutan kekuasaan oleh Gerakan 30 September dapat digagalkan. Dari dokumen - dokumen yang dapat disita dan hasil pemerikasaan tokoh - tokohnya, kemudia diketahui bahwa Gerakan 30 September didalangi oleh PKI. Sementara itu untuk menanggulangi keadaan , Panglima Komando daerah Militer V/jaya menyatakan daerah hukum Komando daerah MiliterV/Jaya dalam keadaan perang mulai pada tanggal 1 Oktober 1965 dan jam malam dinyatakan berlaku pukul 18.00 hingga pukul 06.00 pagi

DI JAWA TENGAH

Kolonel Katamso Dharmokusumo Komandan Korem 072/Yogyakarta

Letnan Kolonel Sugijono Mangunwijoto, Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta

 

Pemberontakan PKI dengan Gerakan 30 September ternyata telah dipersiapkan dan tidak terbatas hanya di Jakarta saja. di berbagai, PKI dan anggota - anggota ABRI yang telah dibina oleh PKI melakukan perebutan kekuasaan

Berdirinya Dewan Revolusi di Yogyakarta diumumkan melalui RRI pada tanggal 1 Oktober 1965. Dewan Revolusi di Yogyakarta diketuai oleh Mayor Muljono ,Kepala seksi teritorial Korem 072/Yogyakarta. Komandan Korem 072 , Kolonel Katamso dan kepala staf Korem 072 Let.Kol. Sugijono, masing - masing diculik dari rumah dan markas korem 072 sore hari hingga tanggal 1 Oktober 1965. Mereka dibawa ke markas Batalyon "L" di desa kentungan yang terletak di sebelah utara kota Yogya dan selanjutnya dibunuh disana.

Di solo, gerakan dilakukan oleh beberapa perwira dan anggota - anggota Brigade Infanteri VI yang melalui RRI Solo mengumumkan dukungan terhadap Gerakan 30 September. Kemudian Wali Kota Solo Oetomo Ramelan , seorang tokoh PKI atas nama Front Nasional Solo Menyiarkan dukungan terhadap gerakan 30 September.

Sementara itu, di wonogiri , ibukota sebuah kabupaten yang terletak di sebelah selatan Solo, dibentuk Dewan revolusi daerah Wonogiri yang diketuai oleh Bupati Wonogiri, seorang tokoh PKI dengan dukungan Komandan Distrik Militer setempat

sementara itu, Di semarang, Kol. Sahirman Asisten Intelejen Kodam VII/Diponegoro , setelah menguasai studio RRI semarang mengumumkan pembentukan "Gerakan 30 Sept. Daerah" yang dipimpin olehnya sendiri

Seperti halnya di Jakarta, gerakan - gerakan perebutan kekuasaan di Jawa Tengah ini pun dapat dipatahkan oleh kesatuan ABRI yang setia kepada Pancasila yang dipimpin oleh Pangdam VII/Diponegoro Brigadir Jend. Surjosumpeno, sekalipun penumpasannya tidak secepat di jakarta karena Jawa Tengah pada dasarnya memang merupakan basis PKI yang terkuat. Pengacauan , Sabotase , dan teror oleh massa PKI berlangsung terutama di daerah Solo , Klaten dan Boyolali. Kegiatan serupa dilakukan pula di daerah jawa Timur dan Bali.


 

Thursday 2 March 2017

Surat Perintah 11 Maret ( SP 11 MARET / SUPERSEMAR )

11 Maret 1966

Pada tanggal 11 Maret 1966 presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah kepada Letnan jend. Soeharto, Menteri / Panglima Angkatan Darat , yang pada pokoknya berisi perintah kepada Letnan Jend. Soeharto untuk atas nama Presiden / pangti ABRI / Pemimpin besar Revolusi mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan pemerintahan.

Pemberian surat perintah tersebut merupakan pemberian kepercayaan sekaligus wewenang kepada Letnan Jend. Soeharto untuk mengatasi keadaan yang waktu itu serba tidak menentu. Keluarnya surat perintah tersebut disambut dengan semangat yang menggelora oleh rakyat , dan karena ampuhnya surat perintah tersebut maka masyarakat menamakannya dengan singkatan "SUPERSEMAR" 

berlandaskan pada SUPERSEMAR tersebut , Letnan Jend. Soeharto telah mengambil langkah - langkah yang penting dan memberi arah baru bagi perjalanan hidup bangsa dan negara.

Dari tanggal 11 Maret 1966 inilah ternyata dimulai penataan kembali kehidupan rakyat , bangsa , dan negara kita yang diletakkan pada kemurniaan pelaksanaan pancasila dan Undang - Undang Dasar 1945. Dimulailah babak baru dalam perjalanan sejarah dan perjuangan bangsa Indonesia ( Orde Baru )

kejadian - kejadian yang mendahului SUPERSEMAR dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Pada tanggal 11 Maret 1966 berlangsung sidang kabinet Dwikora di Istana Negara Jakarta yang dipimpin oleh Presiden soekarno. Di tengah - tengah persidangan tersebut Presiden Soekarno menerima laporan dari ajudan Presiden / Komandan Pasukan Pengawal Cakrabirawa bahwa di sekitar Istana terdapat pasukan - pasukan yang tidak dikenal.

2. menerima laporan tersebut, presiden Soekarno segera menyerahkan pimpinan Sidang Kabinet kepada Waperdam II Dr. Leimena dan Presiden segera meninggalkan sidang dan dengan menggunakan pesawat Helikopter yang telah diparkir, keluar dari Istana dan pergi ke Bogor. Waperdam I , Dr. Soebandrio dan Waperdam III Chairul Saleh menyertai Presiden Soekarno

3. Setelah sidang kabinet  ditutup oleh Dr. Leimena , tiga orang Perwira Tinggi ABRI yang menghadiri sidang kabinet tersebut yakni : Mayor Jenderal Basuki rachmat ( saat itu menjabat sebagai Menteri Veteran ) , Brigadir Jend. M. Jusuf ( saat itu menjabat sebagai perindustrian Dasar ) dan Brigadir Jend. Amirmachmud waktu itu Pangdam V / Jaya, langsung menghadap menteri Panglima Angkatan Darat Let. Jend. Soeharto di kediamannya di Jl. Agus Salim , yang pagi itu kebetulan tidak dapat hadir dalam sidang karena sakit

4. Di samping melaporkan tentang keadaan sidang kabinet yang baru, ketiga perwira tinggi tersebut juga meminta izin kepada Menteri Pangdad untuk menemui Presiden Soekarno di Bogor guna melaporkan situasi sebenarnya di Jakarta , yaitu bahwa tidak benar ada pasukan liar di sekitar Istana dan bahwa ABRI khususnya TNI - AD tetap setia dan taat kepada Presiden Soekarno

5. Menteri Pangdad Let. Jend. Soeharto mengizinkan ketiga perwira Tinggi tersebut pergi ke Bogor, disertai pesan untuk disampaikan kepada Presiden Soekarno, bahwa Let. Jend. Soeharto sanggup mengatasi keadaan apabila Bung Karno mempecayakan hal itu kepadanya

6. Di Bogor, ketiga perwira itu menghadap ke Presiden Soekarno yang didampingi oleh Dr. Soebandrio , Dr. Chairul Saleh , dan Dr. Leimena yang sementara itu telah menyusul ke Bogor , serta ajudan Presiden Brigadir Jend. M. Sabur

7. Setelah mengadakan pembicaraan dan pembahasan yang cukup mendalam akhirnya Presiden Soekarno memutuskan untuk memberikan surat perintah kepada Letnan Jend. Soeharto. Ditugaskanlah kepada yang hadir saat itu yaitu Dr. Soebandrio , Dr. Chairul Saleh , Dr. Leimena. ketiga perwira itu dan brigadir Jend. Sabur untuk merumuskan surat perintah tersebut

8. Pada sore hari sekitar pukul 19.00 surat perintah tersebut sudah siap disusun dan ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Surat perintah tersebut dibawa langsung oleh ketiga perwira tinggi tersebut dan disampaikan pada malam hari itu juga kepada Let. Jend. Soeharto di Jakarta 

 

Isi Surat Perintah 11 Maret

 

OPERASI TRISULA DI BLITAR SELATAN : Menghancurkan Usaha PKI untuk membangun kembali kekuatannya

  3 Juli 1968

Sesudah gagalnya pemberontakan G-30-S/PKI , pemimpin - pemimpin PKI yang belum tertangkap berusaha terus untuk mengkonsolidasikan dan membangun kembali partainya. Usaha itu dicantumkan dalam Tripanji Partai , dimana salah satu di antaranya ialah mempersiapkan pemberontakan tani bersenjata.

Sebagai persiapan ke arah pemberontakan itu mereka mendirikan SPR ( Sekolah Perlawanan Rakyat ) dan KKPR ( Kursus Kilat Perang Rakyat ) , serta membentuk kompro - kompro ( komite proyek ). Kompro - kompro dipersiapkan sebagai basis bagi kembalinya PKI , dan dari kompro - kompro tersebut PKI merencanakan untuk mengepung kota. Salah satu dari Kompro yang dianggap menguntungkan ialah kompro Blitar Selatan , suatu daerah yang terisolasi , bermedan baik untuk gerilya dan sejak zaman Hindia Belanda dulu menjadi saran gerombolan liar.

Selain mendirikan kesatuan - kesatuan Gerilya ( detasemen gerilya dan gerilya desa ) , dari kompro Blitar Selatan ini disebar kader - kader tamatan SPR dan KKPR ke daerah - daerah lain untuk menyusun kompro - kompro berikutnya. Setelah merasa cukup kuat, Kompro Blitar Selatan mulai mengadakan "prota" (Propaganda bersenjata) dalam bentuk penculikan , perampokan dan pembunuhan. 

Seorang Wartawan Luar Negeri sedang memperhatikan senjata - senjata yang digunakan oleh pemberontak  dalam Operasi Trisula        

 

Pada mulanya gerakan PKI gelap tersebut terluput dari pengamatan. Tetapi ketika mereka melakukan perampasan senjata dan pembunuhan terhadap beberapa anggota ABRI, gerakan itu kemudian terbongkar. 

Untuk menumpas gerakan tersebut dilancarkan operasi yang dimulai dengan operasi intelejen. Beberapa orang anggota ABRI ditempatkan sebagai pejabat kepala desa di daerah Blitar Selatan. Dari anggota - anggota ini diperoleh keterangan yang lebih banyak meskipun operasi Teritorial ini mulanya agak kurang berhasil , sebab masih ada di kalangan masyarakat yang bersimpati kepada PKI yang melakukan Gerakan 3T ( Tidak Tahu , Tidak Mengerti , Tidak Kenal ). Keterangan yang lebih lengkap lagi diperoleh setelah Letnan Kolonel Pratomo , bekas komandan Kodim Pandeglang , Jawa Barat ditangkap. dari Pratomo diketahui bahwa di Blitar Selatan berkumpul tokoh - tokoh PKI tingkat Central Comite dan Comite Daerah Besar Jawa Timur.

Operasi militer dilancarkan mulai tanggal 3 Juli 1968. Operasi itu disebut operasi Trisula dan dipimpin oleh Kolonel Witarmin dari Kodam VIII/Brawijaya. Dalam waktu satu setengah bulan , Operasi ini mendapat bantuan rakyat berhasil menggulung sisa - sisa kekuatan PKI di Blitar Selatan. O[erasi Trisula berhasil menangkap 850 orang tokoh PKI , 13 diantaranya tingkat Central Comite dan 12 orang tingkat Comite Daerah Besar Jawa Timur. Diantara yang tertangkap ialah Rewang , Munir , Sukatno ( bekas ketua Pemuda Rakyat ) dan Oloan Hutapea.

Dengan berhasilnya operasi di Blitar Selatan ini, maka dapatlah dicegah perembesan lebih lanjut gerakan PKI di Jawa Timur. Selesai Operasi Militer itu, dilancarkan operasi teritorial , terutama bertujuan menginsafkan rakyat yang tadinya terpengaruh PKI.

Pangdam VIII/Brawijaya Mayor Jend. M. Jasin (kanan) dan Komandan Operasi Trisula Kolonel Witarmin (kiri).dua orang tokoh yang memegang peranan dalam pelaksanaan Trisula

 

Selain di daerah Kodam VIII/Brawijaya , operasi penumpasan terhadap sisa - sisa PKI dilakukan pula di daerah Kodam VII/Diponegoro. Operasi itu disebut Operasi Kikis yang merupakan gabungan dari operasi intelejen , tempur , dan teritorial dengan daerah sasaran perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur di Pegunungan Kendeng dan Lawu. operasi Kikis berhasil menghancurkan kompro - kompro , sekolah perlawanan rakyat , dan menangkap 200 orang kader PKI.

Operasi lainnya dilancarkan di Purwodadi dengan sasaran menghancurkan kompro - kompro PKI Jawa Tengah , yang dimulai pada tanggal 1 Oktober 1968. Adanya kegiatan PKI di daerah ini tercium dalam bulan Maret 1968 ketika diketahui adanya pusat latihan mereka yang disebut STPR ( Sekolah Tentara dan Perlawanan rakyat ) 

Dengan dilancarkannya operasi - operasi pembersihan itu, sisa - sisa PKI kemudian memindahkan pusat kegiatan mereka ke daerah yang dikenal sebagai "Merapi-Merbabu Complex (MMC)". Dalam operasi yang dilancarkan ABRI di daerah MMC ini berhasil ditangkap antara lain Pono ( Supono Marsudidjojo ) , orang ketiga dalam biro khusus PKI.

alat komunikasi , administrasi , dokumentasi dll yang dipakai PKI dalam kegiatannya di Blitar Selatan dan berhasil dirampas dalam Operasi Trisula
Gerombolan PKI di Blitar Selatan yang memakai sistem gerilya Vietcong, yaitu dengan membangun ruba - ruba (bawah tanah) sebagai basis gerakan. tidak kurang dari 216 ruba yang ditemukan, 37 diantaranya buatan alam dan sisanya dibuat anggota PKI. tampak dalam gambar suasana dalam salah satu ruba dan didepan tampak wakil komandan Operasi Trisula letnan Kolonel B. Sasmito

 

Monumen Trisula di Kab. Blitar, Jawa Timur

 
Anggota Operasi Trisula yang siap melakukan Operasi    

Super Kawaii Cute Cat Kaoani